by Nursalam Ar on Tuesday, 07 April 2009 at 13:45
Good writing is purposeful; it says something and says it correctly.
Good writing has voice and energy.
Good writing is thoughtful and thought provoking.
Good writing communicates an important message clearly to intended audience.
Good writing expresses the writer self honestly and evokes a personal response in the reader.
(Christopher C. Burnham)
Free writing fiksi atau menulis bebas fiksi mensyaratkan pembebasan kreativitas dengan menggali ke dalam diri kita sendiri (pengalaman, ide, nostalgia dll) hingga menghasilkan mission statement di atas seperti yang dituliskan C. Burnham. Intinya, dengan menjadi diri kita sendiri maka pintu kreativitas akan terbuka lebar sehingga terbentuk energi alamiah kepenulisan yang mengantarkan kita pada ciri-ciri tulisan yang baik. Hukum besi semesta berkata bahwa sesuatu yang lahir dari hati akan sampai ke hati dan sebuah ketulusan akan melumerkan kekerasan hati.
Di bawah ini jurus-jurus untuk menghasilkan sebuah tulisan fiksi yang baik.
Langkah 1. Menetapkan Niat: Mengapa Kita Menulis?
“Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal.” (John Gardner dalam On Becoming A Novelist)
Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah software dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau ending. Untuk apakah kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma healing)? Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna.
Habiburrahman Syaerozy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak bangsa melalui tulisan, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Kairo ini tergugah untuk menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan. Alhasil, meluncurlah dari guratan tangannya Ayat-Ayat Cinta—novel yang laris secara fenomenal dan diangkat ke layar lebar—maupun Di Atas Sajadah Cinta, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating atas di sebuah TV swasta. Termasuk beberapa buku bernada serupa. Yang paling anyar adalah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih yang diluncurkan pada Milad ke-10 FLP pada 2006 dan langsung dua kali cetak ulang dalam 1 bulan!
Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Kawan-kawan penulis—yang banyak saya temui--yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi pun umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan redaksi media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa--seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra--menulis adalah memberi.
Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual—termasuk ‘menjual’ tulisan--adalah melayani dan memberi. Keikhlasan melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand dalam bentuk repeat order (order yang berulang). Kelimpahan materi adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.
Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo—salah satu sastrawan favorit saya—dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat. Seorang Habiburrahman Syaerozy juga tak menyangka jika Ayat-Ayat Cinta—yang royaltinya untuk infaq pesantren--akan laris manis hingga dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia padahal semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya. Dalam bahasa (alm) KH Abdullah Syafi’ie, seorang ulama kharismatik Betawi era 70an,”Nanem padi rumput ikut; nanem rumput padi luput.” Tujuan yang lebih dari “sekadar” materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas.
Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, “Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya.” Ya, optimismelah—selain motivasi--yang juga membedakan ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa?
Langkah 2: Beternak Ide
“Uang hanyalah sebuah ide.” (Robert T. Kiyosaki)
Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya sama saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks industri kepenulisan --yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri real estate yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku Rich Dad Poor Dad-–ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual. Lihat saja fenomena novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Shirazy atau Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.
Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan, didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda atau unta untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan jalan mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide. Gola Gong melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide Balada Si Roy dan Perjalanan di Asia. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam – hingga konon ia terserang wasir—demi mengejar sang ide.
Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku, ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap. Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin – sang penemu arde alias penangkal petir --menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi kunci besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba sesuatu yang baru.
Jurus Pertama: Kandangkan
Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes, agenda atau diary atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki. Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam lintasan di benak saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,”Kereta yang ingkar janji”. Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu bekas akan menjelma menjadi bayi raksasa bernama Harry Potter yang bertahun-tahun menghipnotis dunia?
Jurus Kedua: Beri makan
Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir, tadabbur, meditasi, yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. Inilah asupan terbaik untuk hewan ternak bernama ide. Semakin variatif dan bergizi jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide tersebut.
“Every man’s work, whether it be literature or music or pictures or architecture or anything else, is always a portrait of himself.”(Samuel Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup relevan jadi panduan. “Ordinary people talk about people; mediocre people talk about events and extraordinary people talk about ideas.” Orang-orang kelas bawah membicarakan orang, orang –orang kelas pertengahan membicarakan peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide atau gagasan. Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya menjadi penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi luar biasa. Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan hal-hal kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.
Jurus Ketiga: Kembangbiakkan
Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura petarung karapan yang tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide unggulan juga begitu, ia mewarisi kualitas genetis masukan yang membentuknya. Dalam How To Be A Smart Writer, Afifah Afra – penulis top FLP dengan sederet novel best seller salah satunya novel sejarah Javasche Orange dan De Windst – mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni – yang saya istilahkan inseminasi dan kawin silang. Inseminasi adalah memasukkan elemen baru terhadap sebuah ide atau kisah lama. Misalnya, jika dalam dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin Kundang, mungkin sangat menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.
Sementara kawin silang adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda. Ambil contoh kisah Cinderella dan Putri Salju (Snow White). Cinderella yang berbahagia karena sepatunya pas dengan ukuran sepatu kaca bisa saja kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia hidup kembali setelah dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.
Jurus Keempat: Jual
Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” demikian pesan Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator menulis Hernowo dalam berbagai bukunya. Jika tidak mampu menuliskannya, ide tersebut dapat dijual ke seorang teman yang menuliskannya. Soal hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan. Dalam dunia sinetron sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan diserahkan kepada tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya sekedar mensupervisi atau menjadi head writer. Itu sekedar contoh. Namun kita tentu layak dan amat berhak menerima kehormatan untuk menuliskannya sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah menebar benih dan merawatnya.
Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah kita punya nyali untuk beternak ide?
Langkah 3: Berbukalah Dengan Tiga Kata
Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, yang menurut Abraham Maslow, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu. Jika Anda ingin sekali mencurahkan isi hati, mendamba sangat untuk menuangkan isi otak namun tangan kaku atau -- dalam istilah Taufik Ismail-- lumpuh menulis, hmm, barangkali secara tak sadar Anda sedang "berpuasa". Otak Anda sedang rehat, menunggu waktu berbuka. Jiwa Anda menggelegak namun tangan kelu beku di depan keyboard komputer atau pena terkulai loyo di atas kertas. Jadi, marilah berbuka!
"Kak, gimana caranya?" seorang anggota baru FLP bertanya demikian.
Yang tidak bertanya atau malu bertanya, lebih banyak menerawang ke langit atau menekuri bumi. Sebuah pemandangan umum yang saya temui dalam berbagai pelatihan menulis mulai dari anak-anak buruh pelabuhan Tanjung Priok, siswa SMA di sebuah kawasan elit, karyawan-karyawan sebuah departemen bahkan hingga anggota baru sebuah komunitas kepenulisan (baca: Forum Lingkar Pena). Mereka lupa bahwa ide harus dikejar, bukan dinanti seperti pasifnya menanti kereta Jabotabek yang kerap telat. Mereka abai bahwa seorang Sean Connery-- dalam cast-nya sebagai seorang penulis dalam film Finding Forrester -- mendidik keras tentornya agar "menuliskan apa yang terlintas, bukan memikirkan apa yang hendak ditulis". Namun, jika konsep itu kelewat mewah, maka seperti berbuka puasa, awalilah dengan yang ringan. Jika berbuka disunnahkan dengan kurma, maka berbukalah dari puasa menulis dengan tiga kata.
"Caranya?" Mata-mata bingung itu menatapku tajam. Mungkin mereka kira saya bercanda.
Apapun bentuk tulisan Anda, persetankan apapun kata kritikus nantinya, "dobrak" kebekuan es dalam benak dengan menuliskan "tiga kata". Apapun kata yang terlintas di benak Anda. Contoh: Apa yang Anda pikirkan saat membaca tulisan ini? Sebut saja: bingung, penasaran dan tak tahu. Yup! Anda sukses mencicipi "kurma". Apakah Anda biarkan kurma itu sekedar menempel di bibir? Jangan puas hanya dengan merasakan teksturnya. Santap saja, Kawan!
Buatlah kalimat dari ketiga kata temuan tersebut. Tak peduli dari manapun kata itu Anda pungut (apakah dari kelebatan rok mini cewek kantoran di depan Anda, dari headline sebuah koran atau dari kelebatan iseng), tuliskan saja. Misalnya, terciptalah, "Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa yang aku tak tahu untuk menulisnya." Itu satu contoh. Terus, dan teruslah menulis. sengawur apapun. Hingga, singkat cerita, terciptalah sebuah paragraf pendek berikut:
"Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa yang aku tak tahu untuk menulisnya. Tapi aku tahu harus menulis apa. Karena aku penulis serba bisa. Biarpun judulnya "Kecanggihan Teknologi IT" tapi aku tahu aku pasti bisa menulisnya. Apapun itu..."
Langkah 4: Menentukan Judul
Sahabat, buatlah judul yang membuat penasaran, eye-catching. Awali tulisan kita dengan ledakan (bang), mengutip Ismail Marahimin dalam Menulis Secara Populer. Ada prinsip kuno—dengan majas ironi—dalam jurnalisme: Good news is bad news, but bad news is good news. Contoh klasiknya adalah berita yang luar biasa bukanlah anjing menggigit orang tapi orang yang menggigit anjing. Barangkali terkesan ngawur. Namun dalam konteks menarik perhatian pembaca, pendekatan tersebut bisa kita pakai. Misalnya dalam pemilihan judul. Seperti manusia, penampilan luar adalah hal penting. Dalam konteks ini, maaf, kata mutiara don’t judge the book by its cover menjadi kurang relevan.
Surat kabar nasional sejenis Poskota atau Rakyat Merdeka biasa memampang judul yang provokatif seperti: "JANDA DIPERKOSA, RAIB 300 JUTA". Meskipun kadang informasi tersebut hanya dibahas sekilas. Tapi intinya tonjolkan kelebihan dan tutupi kekurangan dalam tulisan kita. Ini sah-sah saja dalam dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma menjadi sebuah industri, yang karib dengan pranata pemasaran (marketing) yang canggih.
Perlu diingat juga prinsip marketing yang kerap dikutip Zig Ziglar—salesman mobil terlaris dalam sejarah--bahwa “orang membeli karena didorong emosi". Coba pelajari emosi dasar apa sih yang memancing naluri pembaca untuk membaca? Judul yang memancing naluri seksual (itulah alasan UU Pornografi perlu disokong), SARA atau kebutuhan perut tentu lebih mengundang perhatian ketimbang seputar pemikiran ilmiah atau berat (kecuali pembaca kita adalah ilmuwan, lain soalnya).
Sesuai Teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah basic needs yang merupakan dasar piramida dalam survival hierarchy, sementara kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan keamanan terpenuhi. Lebih jauh judul juga perlu disesuaikan apakah kita akan mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi. Dalam hal ini wajib hukumnya pertimbangan yang matang dan amatan pasar yang cermat.
Langkah 5: Bermain Dialog dan Narasi
Di sisi lain, ada adagium penulisan don't tell it but just show it. Jangan cuma diceritakan tapi juga tunjukkan. Pelukisan kejadian atau tindakan dalam sebuah tulisan dapat memperlancar sebuah tulisan untuk dicerna dan diserap saripatinya. Di sinilah dialog berperan. Karena dialog pun dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi. Josiph Novakovich dalam Berguru kepada Sastrawan Dunia (Mizan, 2003) mengatakan: “Karena dialog mengungkapkan informasi tentang perjuangan seseorang, pastikan Anda tidak memberi kami informasi yang sepele dan tidak relevan. Hindari pendahuluan yang realistis; buatlah ringkasan pendahuluan yang enak lalu langsung masuk ke dalam dialog….Jangan tunjukkan semua contohnya, sajikan yang dramatis, saat diperlukan saja, dan sajikan yang lainnya dalam bentuk ringkasan." (hal. 182-183).
Namun, terlalu banyak dialog, ujar Mohammad Diponegoro dalam Yuk Menulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1991), bisa bikin tulisan terlalu encer. Jadi memainkan keduanya butuh nilai rasa, seperti memainkan gas atau persneling ketika mengendarai motor atau mobil. Seperti masakan pula, coba minta keluarga atau sahabat kita untuk ‘mencicipi’ tulisan kita. Apakah sudah ganyeng atau bumbunya sudah pas? Sudahkah mencapai efek yang kita inginkan?
Langkah 6: Meniupkan Ruh Pada Sebuah Tulisan
Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di Indonesia saat ini. Yakni novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.
Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang hingga lebih tiga puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar lebar, filmnya – meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya -- yang digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang untuk datang menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya. Sementara Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain best-seller nasional, dielu-elukan sebagai The Indonesia’s Most Powerful Book di berbagai talkshow termasuk di layar kaca, Laskar Pelangi juga akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.
Lebih mengagumkan lagi, Laskar Pelangi ditulis oleh Andrea Hirata yang belum pernah membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli Belitong yang alumnus S-2 Perancis ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain yakni Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov---yang secara keseluruhan merupakan Tetralogi Laskar Pelangi. Habiburrahman yang santri Al Azhar kelahiran Semarang juga membawa gerbong Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2, Pudarnya Cinta Cleopatra, Di Bawah Mihrab Cinta dan beberapa karya best-seller lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.
Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu mengharubiru jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?
Sekian banyak orang bersaksi bahwa Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi mengubah hidup mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya karya-karya besar yang membawa perubahan di dunia, sebut saja novel Uncle Tom’s Cabin buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi semangat perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya. Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.
Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, elan vital (semangat) kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis di sini barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di samping juga ia memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan).
Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi --dalam hukum Kekekalan Energi Newton—yang tak dapat musnah namun berubah bentuk. Energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam bentuk inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban. Histeria gadis-gadis berjilbab untuk berfoto bersama Kang Abik –panggilan populer Habiburrahman dan berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau tobat totalnya seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea Hirata. Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.
Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid, berasal dari kata bahasa Arab, “nur” yang artinya “cahaya”. Hati adalah tempat cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah perkawinan kimiawi yang serasi.
Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari ‘anak-anak’ tulisan kita. Bahkan kita adalah ‘tuhan’ atas segala tulisan kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar kita punya stamina dan nafas panjang dalam karir kepenulisan.
Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh energi. Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau soul. Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau bahkan bangkai. Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus—ada yang--dicaci-maki karena mereka hidup, bernyawa.
Langkah 7: Menjadi Epigon: Salahkah?
“Yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri...”
(John Cowper Powys)
Yang namanya ekor letaknya selalu di belakang. Ia membuntuti sesuatu yang berada di depannya. Dalam kepenulisan, orang yang meniru-niru gaya tulisan seorang penulis lazim disebut epigon. Sebagaimana ekor yang takkan pernah mendahului kepala, seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli penulis yang ditirunya. Lantas salahkah menjadi epigon? Salahkah bila kita meniru gaya bertutur JK Rowling atau gaya kontemplatif Goenawan Mohammad?
Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru. Bayi manusia belajar berbicara dengan mengamati dan menirukan suara-suara di sekitarnya terlepas dari apapun penafsiran manusia dewasa akan hasil peniruan sang bayi. Demikian juga dalam kepenulisan. Prinsip copy the master adalah kelaziman—sebagian buku panduan menulis bahkan menyebutnya “kewajiban”—dalam tahap awal pembelajaran menulis. Sebagian penulis besar Indonesia yang dicatat Pamusuk Eneste dalam serial buku Proses Kreatif—dari A.A Navis sampai Arswendo Atmowiloto—bahkan menerjemahkan prinsip tersebut dengan menyalin atau mengetik ulang tulisan-tulisan penulis idola mereka untuk kemudian dibaca dan dibedah isi perutnya.
Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Sebagai “bayi”, meniru atau mengimitasi adalah perlu. Tak perlu malu menuruti George Orwell, seorang penulis Inggris yang bernama asli Eric Arthur Blair dan populer dengan novel 1984 dan Animal Farm, yang menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan lugas agar pembaca terang dengan maksudnya. Karena, lanjutnya, musuh besar bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan yang lemah, bagaikan cumi-cumi menyemburkan tintanya. Intinya, kalimat-kalimat panjang sebenarnya menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya. Juga tak perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway—yang piawai dengan diksi yang sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam beberapa karyanya yakni For Whom The Bells Toll dan The Oldman dan The Sea—bahwa cara terbaik untuk mengetahui apa sesungguhnya perasaan kita adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.
Namun hidup manusia tak sekadar dan tak layak terhenti pada masa bayi atau kanak-kanak. Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam dongeng Peter Pan dengan peri Tinker Bell-nya. “Bayi” butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi bagaimanapun juga baiknya akan tetap tinggal imitasi. Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri. Atau dalam bahasa John Cowper Powys, “Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya.” Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah yang merupakan salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apapun cerita yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.
Jadi, salahkah menjadi epigon?
Maybe yes, maybe no.
Ya, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan sebagaimana salahnya bayi yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar. Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi dalam Sastra dan Tekniknya, bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan menulis. Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil menjadi pengarang. Sang epigon primitif ini tak akan pernah mengungguli para pengarang aslinya.
Tidak, menjadi epigon tidak salah apabila kita memperlakukan masa peniruan yang entah sekian tahun lamanya itu sekadar sebagai masa pendadaran, masa awal pembelajaran yang tentu saja waktunya pun tidak mungkin selamanya. Anggap saja fase menjadi epigon itu sekadar fase ketika kita mulai menaiki bahu-bahu raksasa agar kita dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas. Hingga akhirnya tibalah saatnya tumbuh sayap-sayap keberanian kita untuk melompat dan terbang lebih tinggi. Dan bebaslah kita, seperti bebasnya ekor cecak yang masih sanggup bergerak-gerak sendiri ketika terputus dari tubuh inangnya. Jika kita berani mandiri seperti—sebuah contoh yang sangat minimalis--ekor cecak maka kita adalah para epigon kreatif yang berhak punya sayap-sayap keberanian sebagaimana berhaknya bayi tumbuh gigi sebagai tanda berjalannya proses kedewasaan yang lumrah.
Sayap-sayap keberanian itu sendiri tak mungkin tumbuh tanpa--dalam formula untuk menjadi pengarang atau penulis yang baik menurut William Faulkner—99% disiplin dan 99% kerja. “Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari dirimu sendiri,” pesan sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Perancis ini.
Epilog
Sahabat, demikianlah ketujuh langkah awal free writing fiksi. Ini hanyalah rangkuman bebas dan bukan sebuah dogma yang wajib diimani. Karena tak ada salah dan benar dalam teori kreatif sastra. Namun tak ada salahnya belajar dari perasan ilmu pengetahuan, pengalaman dan penelitian orang lain bukan? Karena kita semua,tak kenal penulis yunior atau senior, sejatinya adalah pembelajar. Maka bebaskan diri untuk terus belajar dan nikmati proses jatuh bangun dalam kepenulisan dengan berbekalkan dua kata: Tetap Semangat!
Semoga bermanfaat.
Situs penulisan yang direkomendasikan
www.rumahdunia.net, situs resmi milik komunitas Rumah Dunia asuhan Gola Gong
www.penulislepas.com, situs kepenulisan milik komunitas Penulislepas.com
www.rayakultura.net, situs kepenulisan asuhan Naning Pranoto, seorang pengarang senior
Buku kepenulisan yang direkomendasikan
How To be A Smart Writer karya Afifah Afra
Menulis Itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto
Yuk, Menulis Cerpen Yuk karya Muhammad Diponegoro
Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis
Sastra dan Tekniknya karya Mochtar Lubis
Proses Kreatif karya Pamusuk Erneste
Berguru Kepada Sastrawan Dunia karya Josiph Novakovich
Menulis Secara Populer karya Ismail Marahimin
0 comments:
Posting Komentar